Sunday, July 5, 2020

Apakah Nabi Pernah Berbuat Maksiat Atau Dosa?

Apakah Nabi shalllalahu alaihi wasallam pernah salah? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan singkat "pernah/tidak pernah".  Harus diperjelas dulu maksud dari kata "salah" yang ingin ditanyakan. Apakah salah dalam arti berbuat dosa, maksiyat, ataukah lupa, atau keliru, atau makna lain. 1. Jika yang dimaksud ialah dosa dan maksiyat maka tidak ada satupun nabi dan rasul yang pernah melaksanakan perbuatan dosa dan maksiyat durhaka kepada Allah. Beliau semua memiliki sifat makshum, dijaga oleh Allah dari melakukan perbuatan maksiyat. Salah besar jikalau ada yang menceritakan salah satu nabi pernah melakukan maksiyat, apalagi pernah mengalami kekafiran di abad kecilnya. 2. Jika yang dimaksudkan adalah kekeliruan tak sengaja (السهو) dan berkaitan dengan pekerjaan (فعل) maka bisa saja Nabi keliru. Misalnya ia pernah keliru dikala sholat, gres dua rakaat eksklusif salam padahal seharusnya empat rakaat. Kekeliruan seperti ini mengandung pesan yang tersirat syariat agar ummat mengenali apa yang harus dilakukan pada saat mengalami kekeliruan. Sedangkan kekeliruan (السهو) dalam perkataan (قول) contohnya hendak mengatakan "zaid bangun", keliru menyebut "zaid duduk", maka kekeliruan mirip ini tidak mungkin. Tidak mungkin terjadi karena akan mengakibatkan syubhat seluruh perkataan nabi. 3. Jika yang dimaksud ialah salah memberikan risalah dan wahyu dari Allah maka hal itu sangat tidak mungkin. Misalnya menghalalkan masalah yang diharamkan Allah atau smengharamkan perkara yang dihalalkan Allah. 4. Jika yang dimaksud yaitu "kurang sempurna dalam berijtihad", ini pembahasan daqiq yang perlu serius memahaminya : - Ada keputusan dan perbuatan nabi yang langsung berdasarkan risalah wahyu dari Allah. Perbuatan seperti ini niscaya benar sebagaimana uraian poin 3. - Ada keputusan dan tindakan nabi, yang ia diberikan hak ijtihad oleh Allah. Dalam ranah ijtihad ini Rasul memilih berdasarkan kecerdikan dan atau musyawarah bersama shahabat untuk menetapkan sesuatu. Apapun keputusan dan perbuatan yang Nabi ambil berdasar ijtihad pasti bukan sebuah kesalahan, alasannya adalah di ranah itu dia mendapat izin untuk berijtihad. Akan namun, pilihan ijtihad nabi belum pasti sesuai dengan apa yang berdasarkan Allah paling tepat. Nah di sinilah muncul pernyataan "Nabi bisa saja khilaf".  "Khilaf" bukan bermakna ia melaksanakan kesalahan, pelanggaran, dosa, kekeliruan, bukan. Beliau sudah sangat sempurna karena menggunakan hak ijtihadnya. Hanya saja hasil ijtihad ia seringkali berlawanan dengan apa yang berdasarkan Allah lebih tepat dipilih. Contoh, tentang tawanan perang badar. Sayyidina umar beropini supaya mereka dibunuh sedangkan Sayyidina Abu Bakar menyarankan untuk dibebaskan dengan mengeluarkan uang tebusan harta. Ijtihad Rasulullah shallalhu alaihi wasallam sama dengan pertimbangan Sayyiduna Abu Bakar. Akhirnya tawanan dibebaskan dengan tebusan. Tetapi apa yang terjadi? Allah menurunkan wahyu Al Anfal 67 yang menyalahkan pilihan Nabi dan membenarkan pendapat sayyiduna Umar. Contoh lain, ketika Beliau berijtihad dan menetapkan untuk mendahulukan dakwah terhadap para pembesar Qurais, mengakhirkan dakwah terhadap Ibn Ummi Maktum yang tuna netra. Ijtihad beliau disalahkan oleh Allah lewat surat Abasa. Apapun keputusan dan tindakan yang Nabi ambil berdasar ijtihad tentu bukan sebuah kesalahan, alasannya di ranah itu ia menerima izin dari Allah untuk berijtihad.  Sedangkan Allah yang maha mengenali dan maha bijaksana tentu lebih tahu opsi mana yang sebaiknya lebih tepat. Dan cuma Allah lah yang berhak menyalahkan pilihan Nabi, bukan kita ummat insan. Kaedah ijtihad : Jika benar menerima dua pahala jikalau salah tetap mendapat satu pahala. Bojonegoro, 10 Maret 2021 Najih Ibn Abdil Hameed ---- - 
Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com


EmoticonEmoticon