Tuesday, July 21, 2020

Eksistensi Buzzer

Karena cara kerja  buzzer  bukan cuma membela pihak tertentu, tetapi menyerang pihak lain. Bahkan menyerang hal bersifat pribadi para tokoh yang kritis di medsos. Gaji  buzzer  di Indonesia pun ternyata begitu menggiurkan hingga para  buzzer  yang terlibat sangat betah meski menghancurkan tatanan demokrasi. Penggunaan  buzzer  untuk tujuan tertentu makin marak dan kerap memanggil perdebatan. Ternyata, ada riset khusus tentang  buzzer  yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu. Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. Dalam observasi itu,  buzzer  disebut selaku pasukan siber, adalah instrumen pemerintah atau pemain drama partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online. Penelitian ini secara komparatif mengusut organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini memakai propaganda komputasi untuk tujuan politik. Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa kegiatan pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia. Temuan dari penelitian ini memperlihatkan adanya kombinasi di berbagai negara perihal skala dan jangka waktu pemanfaatan tim  buzzer . Di beberapa negara, tim timbul untuk sementara waktu di sekeliling penyeleksian atau untuk membentuk perilaku publik seputar program politik penting yang lain. Lakukan Kontrol Di sisi lain, ada  buzzer  yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf melakukan pekerjaan sarat waktu. Mereka melakukan pekerjaan untuk menertibkan, menyensor, dan membentuk percakapan dan isu online. Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengorganisir ratusan akun imitasi. “Di negara lain - mirip China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021). Buzzer ini menggunakan banyak sekali taktik komunikasi. Penelitian ini mengkategorikan kegiatan  buzzer  ke dalam empat kategori. Pertama, penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal. Ketiga, seni manajemen berbasis data. Keempat, trolling, doxing atau gangguan. Kelima, memperkuat konten dan media online. Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi yaitu seni manajemen komunikasi yang paling lazim. Di 52 dari 70 negara yang diperiksa, pasukan siber secara aktif membuat konten, mirip meme, video, situs web informasi imitasi, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. “Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan memakai sumber data online dan offline wacana pengguna, dan membayar iklan di platform media umum terkenal, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya. Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan dan bahaya global yang berkembang terhadap hak asasi manusia. Terdapat 47 negara telah menggunakan trolling selaku bagian dari senjata digital mereka. “ Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui pelaporan konten atau akun secara massal. Kiriman dari pencetus, bandel politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk meniadakan konten yang tidak pantas,” jelasnya. Trolling dan pembatalan akun atau artikel bahkan dapat terjadi bersamaan dengan kekerasan dunia positif, yang dapat mempunyai efek yang dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia. Strategi pasukan siber Adapun mengenai tipologi perpesanan dan taktik valensi yang digunakan, pasukan siber ketika terlibat dalam percakapan dengan pengguna online untuk beberapa tujuan. Pertama, berbagi propaganda pro-pemerintah atau pro-partai. Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor. Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari duduk perkara penting. Keempat, memotori pembagian dan polarisasi. Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi. Dalam laporan ini disebutkan pula harga yang dibanderol para  buzzer . Di Indonesia, penggunaan  buzzer  bersifat perjanjian temporer, dengan nilai antara Rp 1 juta-Rp 50 juta. Kebanyakan  buzzer  di Indonesia memakai cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten.
Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)